Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban dan Suku Kenyah
adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi
Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia
dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama
ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau). Karya Carl Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1882 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala”.
Praktik berburu kepala adalah salah satu bentuk komplek perilaku
sosial dan sudah memancing munculnya beragam penjelasan dari berbagai
penulis, baik dari kalangan “penjelajah” maupun kalangan akademisi.
Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah,
yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa
atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh
(Riwut, 2003 : 203). Menurut Lebar (1972 : 171), dikalangan masyarakat
Kenyah, perburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu
pesta pemotongan kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai
upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk
para prajurit perang. Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak
memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung
enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus..Serangan-serangan para
pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari
sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam
dan tiba-tiba. Mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya
burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad,
kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, berhadapan dengan
ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang. Di
masa lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan sebagai pemburu kepala yang
paling terkenal di Kalimantan. Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku
Dayak Iban juga melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai.
Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta
besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang (Lebar, 1972 :
184).
Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black
Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa
dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang
Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala
manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia.
Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan
seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi
ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan
hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau
ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan
diperlukan sebuah tengkorak yang baru. Sementara itu Mc Kinley
menggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses
transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi
sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.
Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa
harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc
Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas
untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang
dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal,
merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social
personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling
manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus
diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.
Dalam kajiannya tentang suku Dayak Iban, Freeman mengatakan bahwa
berburu kepala semata simbolik berkaitan dengan kesuburan.
Paralel-paralel antara kepala manusia dan kesuburan merupakan sesuatu
yang sentral dalam pembahasan tentang praktik berburu kepala. Freeman
mengatakan (1979 : 234), puncak dari alegori luar biasa yang menjadi hal
yang sentral dalam upacara perburuan kepala yang dilakukan oleh
orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh dukun-dukun
pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah sebuah
ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti
mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil. Di dalam bagian
alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah
kepala tiruan atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu
dewa perang suku Iban. Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang
melambangkan pemenggalan kepala musuh yang sesungguhnya) dengan satu
tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan sangat cepat, dan dari
kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang bila ditaurkan akan
timbul menjadi sesosok tubuh manusia.
Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau.
Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat
mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha
adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak
Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh
yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya
berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk
lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap
ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban
dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun
suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam
adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia
memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di
tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar